Mencari Cahaya Dalam Kegelapan di Tengah Gemerlap Dunia

RADITYA menembus tumpukan buku yang semakin menggunung di meja belajarnya. Di antara lembaran-lembaran yang telah ia selami, terdapat Ihya Ulumuddin, karya agung Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali yang sarat dengan pesan-pesan ilahiah untuk menghantarkan jiwa menuju-Nya. Ada pula Fathur Rabbani,warisan spiritual Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang membisikkan kunci-kunci rahasia menuju kedalaman Ilahi. Tak ketinggalan tulisan-tulisan Kahlil Gibran yang penuh kelembutan batin, hingga renungan eksistensial Soren Kierkegaard yang menggugat makna diri. Semua itu dibacanya dengan harapan mengusir kekosongan yang diam-diam menggerogoti jiwanya, mencari setitik cahaya dalam lorong panjang yang sunyi dan tak pasti. Setiap halaman yang ia telaah seakan membuka tirai demi tirai dalam batinnya, menyibak suara lirih yang selama ini terkurung dalam keheningan. Namun alih-alih menemukan jawaban, Raditya justru dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam dan lebih menyesakkan: Siapakah aku sebenarnya? Untuk apa aku hidup? Dan ke mana semua ini bermuara? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan lagi beban, melainkan semacam nyala kecil yang mulai menuntunnya menelusuri lorong spiritual yang sebelumnya tak pernah ia jamah. Ia mulai memahami, bahwa kadang, makna bukanlah sesuatu yang dicari dan ditemukan, tetapi sesuatu yang dibentuk perlahan, lewat kegelisahan yang jujur dan pencarian yang tak kenal lelah. Suatu malam, di tengah riuhnya kota metropolitan yang tak pernah benar-benar tidur, Raditya berjalan tanpa arah menyusuri trotoar yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan bayang-bayang gemetar yang tampak seperti lukisan abstrak kehidupan modern. Di sebuah sudut sepi, tak jauh dari halte tua yang seolah dilupakan waktu, ia melihat seorang lelaki tua duduk bersila, mengenakan jaket sederhana sederhana dan menatap ke langit. Tatapan mata lelaki itu menembus gelap malam seperti sedang melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh mata biasa. Raditya mendekat, dan seolah telah ditunggu, lelaki itu membuka suara pelan namun penuh getar: “Cahaya bukan untuk dicari, tapi disadari.” Kata-kata itu menggema di hati Raditya seperti petir yang jatuh tepat di tengah kehampaan jiwanya. Lelaki tua itu tidak menjelaskan apa pun lebih lanjut, seolah seluruh jawaban sudah cukup dengan satu kalimat itu. Raditya hanya bisa terdiam, menunduk, dan merasakan ada sesuatu yang tercerahkan di dalam dirinya, bukan dari luar, melainkan dari dalam. Ia menyadari bahwa selama ini ia sibuk mengejar makna ke luar dirinya, menumpuk pengetahuan, menyelami konsep, padahal cahaya itu sendiri telah lama hadir di relung terdalam jiwanya. Ia hanya lupa bagaimana melihat ke dalam. Lupa bahwa jalan pulang bukan menuju sesuatu yang baru, tetapi kembali kepada sesuatu yang telah lama ia tinggalkan “cahaya Ilahi yang selalu ada”. *** Tokoh Raditya adalah sosok utama dalam Cerpen digital berjudul 'Kekosongan Batin' karya Gus Salam YS. Short Story ini ditulis dengan sosok fiktif, namun cerita perjalanan sang lakon (Raditya) adalah kisah nyata (true story) bagian perjalanan ruhani sang penulis. Bagaimana Raditya akhirnya menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang menggumpal dalam pikiran dan hatinya? Temukan kisah selengkapnya di fitur Cerpen Ruhani secara gratis di AHQMobile. (ahqnews)

EBOOK

AHQNews

6/24/20251 min baca

Raditya berjalan di antar tabut untuk mencari ketenangan sebagai pelepad kejenuhan hírük pikuk dunia
Raditya berjalan di antar tabut untuk mencari ketenangan sebagai pelepad kejenuhan hírük pikuk dunia

Baca Selengkapnya