AHQNews — Di tengah hiruk pikuk dunia yang kian bising, manusia sering kehilangan arah pulang. Kita berlari mengejar banyak hal, namun lupa pada satu hal paling hakiki, yakni mengenal diri sendiri.
Padahal, dari situlah seluruh perjalanan ruhani bermula. Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Dan dalam salah satu pesan cintanya, Gus Salam YS MPd mengajak kita menundukkan pandangan ke dalam, menatap wajah jiwa sendiri, agar menemukan cahaya Ilahi yang selalu bersemayam di sana.
Melalui refleksi mendalam ini, Gus Salam YS menjelaskan bahwa mengenal diri bukan sekadar memahami kepribadian atau perasaan, melainkan menyadari hakikat diri yang terdiri dari lima hal besar, yaitu tubuh, pikiran, nafsu, hati, dan ruh.
Tubuh Hanyalah Pakaian
Tubuh hanyalah pakaian yang dikenakan ruh untuk menempuh perjalanan di bumi. Ia berasal dari tanah, hidup dari rezeki yang tumbuh di tanah, dan suatu saat akan kembali menjadi tanah.
Pesan Cahaya Cinta dari Gus Salam YS MPd
Mengenal Diri: Menyadari Lima Hal Besar dalam Perjalanan Ruhani


Ia mengalami pertumbuhan, perubahan, kelemahan, dan akhirnya ketidakberdayaan. Tidak ada yang kekal darinya. Ia seperti baju yang pada akhirnya akan dilepas, sementara pemakainya ruh melanjutkan perjalanan tanpa membawa apa pun kecuali amal.
Karena tubuh menua dan berubah, ia tidak layak dijadikan pusat kehidupan. Banyak manusia terikat pada penampilan, kekuatan, dan kesehatan fisik seolah-olah itulah nilai dirinya. Padahal tubuh hanya mengikuti hukum alamnya. Ia kuat ketika muda, rapuh ketika tua, dan beristirahat ketika ajal tiba.
Menjadikan tubuh sebagai tujuan hidup hanya akan membawa kekecewaan, sebab ia tidak diciptakan untuk bertahan selamanya. Ia adalah kendaraan, bukan rumah abadi.
Tubuh menjadi mulia bukan karena bentuknya, tetapi karena apa yang ia lakukan dalam ketaatan kepada Allah. Tangan menjadi mulia ketika digunakan untuk menolong.
Mata menjadi mulia ketika dijaga dari maksiat. Kaki menjadi mulia ketika melangkah menuju kebaikan.
Ketika tubuh digunakan sebagai alat ibadah, ia menjadi saksi bagi ruh yang mengendalikannya. Tetapi ketika tubuh diikuti nafsunya, ia menjadi beban yang menyeret manusia jauh dari cahaya. Karena itu, tubuh harus dirawat, bukan disembah, harus digunakan, bukan dipertuhankan.
Pikiran Hanyalah Alat
Pikiran adalah anugerah besar yang Allah titipkan kepada manusia. Ia memampukan kita membaca tanda-tanda, menghitung, merencana, dan memahami dunia. Namun pikiran bukanlah pusat diri. Ia seperti lampu yang menerangi jalan, tetapi bukan pemilik jalan itu sendiri. Bila manusia menjadikan pikiran sebagai satu-satunya kompas hidup, ia akan mudah lelah, cemas, dan terjebak dalam analisis yang tak kunjung selesai.
Pikiran bekerja dari apa yang ia ketahui dari pengalaman, ingatan, dan informasi yang terbatas. Karena itu ia sering salah menafsirkan, cepat khawatir, dan mudah membuat kesimpulan tergesa-gesa. Ia seperti pelayan setia yang akan bekerja sesuai program yang diberikan, namun ia kehilangan kendali ketika diminta memimpin kehidupan. Ketika pikiran diletakkan di atas hati, manusia kehilangan arah; ia hidup mengikuti ketakutan dan dugaan-dugaannya sendiri.
Sesungguhnya pikiran diciptakan untuk melayani hati, bukan menggantikannya. Hati adalah tempat turunnya nur Ilahi, sedangkan pikiran adalah penerjemah yang membantu kita berjalan di dunia. Maka ketika hati memimpin dan pikiran mengikuti, manusia menjadi jernih, bijaksana, dan tenang. Tetapi ketika pikiran menjadi raja dan hati diabaikan, manusia hidup dalam kegelisahan yang terus berulang. Inilah mengapa penyucian hati harus selalu mendahului penajaman pikiran.
Nafsu, Dorongan Yang Harus Ditundukkan atau Dikendalikan
Ia adalah bagian diri yang selalu ingin memiliki, menguasai, dan merasa cukup dengan dunia. Jika dibiarkan memimpin, manusia akan gelisah dan mudah terseret ke dalam amarah, iri, sombong, dan kesenangan sesaat.
Nafsu bukan musuh yang harus dibenci, tetapi tenaga dalam diri yang harus diarahkan dan disucikan. Jika ia dikendalikan oleh hati, ia menjadi kekuatan yang bermanfaat. Jika ia menjadi raja, ia merusak seluruh kehidupan.
Nafsu adalah anak kecil dalam diri, di mana butuh bimbingan, bukan diikuti. Butuh disiplin, bukan dimanjakan. Butuh disucikan, bukan dibebaskan tanpa arah. Dan, tazkiyatun nafs adalah proses menjadikannya jinak agar ia tunduk pada cahaya hati, bukan sebaliknya.
Hati Adalah Cermin Tuhan
Di sanalah nur (cahaya Ilahi) turun. Jika hati bersih, maka cahaya itu tampak. Jika hati keruh, cahaya itu tertutup.
Maka, siapa yang ingin mengenal Allah, harus belajar mengenali hatinya terlebih dahulu. Karena Allah tidak jauh yang jauh adalah hati yang tertutup.
“Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami pada segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri.” (QS. Fuṣṣilat: 53)
Engkau tak perlu pergi jauh. Allah sedang menunjukkan diriNya melalui dirimu sendiri, melalui rasa cinta, ujian, rindu, dan keheningan yang tiba-tiba meneteskan air mata.
Semakin dalam engkau mengenal dirimu, semakin dekat engkau kepada Tuhanmu. Karena, perjalanan spiritual bukan tentang mencari Allah ke luar, tetapi menemukan bahwa Dia selalu tinggal di dalam hati yang disucikan.
Ruh Dan Perubahan Keadaan Batin Manusia
Ruh pada hakikatnya, adalah tiupan suci dari sisi Allah. Ia datang dalam keadaan fitrah, bersih, dan bercahaya. Namun meskipun asalnya suci, keadaan ruh dapat berubah sesuai perilaku manusia, karena ruh menerima pengaruh dari hati, nafs, dan amal perbuatan.
Jika hati gelap, ruh pun tertutup. Jika hati bersih, ruh pun bersinar. Ruh adalah cahaya, tetapi cahaya itu bisa redup bila dibungkus oleh kegelapan akhlak.
Ketika seseorang melakukan perbuatan buruk, misalnya kebencian, kedzaliman, kesombongan, atau mengikuti hawa nafsu tanpa kendali, ruh dapat terwarnai oleh sifat-sifat tersebut.
Para sufi menggambarkannya sebagai ruh yang “terkurung” dalam bentuk sifat kebinatangan atau sifat iblis.Bukan berubah hakikatnya, tetapi keadaan batinnya menampakkan bentuk-bentuk sifat tersebut.
Inilah sebabnya, mengapa seseorang bisa tampak tenang tetapi hatinya gelap, atau tampak kuat tetapi jiwanya rapuh. Keadaan ruh mencerminkan apa yang ia lakukan secara batin.
Namun ketika seseorang menaikkan perilakunya, taat kepada Allah, menjaga hati, menghidupkan dzikir, dan menjalani kehidupan berbasis Asmaul Husna, ruh kembali bersinar seperti cermin yang dibersihkan dari debu. Setiap sifat baik yang diamalkan (Ar Rahman, Al Wadud, As Salam, Al Quddus) mengubah keadaan ruh menjadi lebih jernih, lembut, dan bercahaya.
Ruh yang dahulu redup menjadi terang, ruh yang dahulu berat menjadi ringan, ruh yang dahulu gelap menjadi kembali laksana cahaya suci yang memancar ke seluruh kehidupan.
Dengan demikian, ruh bukan berubah hakikatnya, tetapi mengalami perubahan keadaan dalam kualitas cahaya, dan tingkat kejernihan, sesuai dengan perilaku, dzikir, dan kedekatan seseorang kepada Allah. Dan,di sinilah rahasia suluk.
Ruh manusia dapat naik ke tingkatan cahaya atau jatuh ke lembah kegelapan, tergantung bagaimana ia menata hatinya dan amalnya. Karena sejatinya, setiap langkah mengenal diri adalah langkah pulang kepadaNya, kepada Cahaya yang tak pernah pergi, hanya tertutup oleh lupa. (AHQ)
